Kota Muara Labuh, akhir etape ke5 Tour de Singkarak 2013, dikenal dengan sebutan Kota Seribu Rumah Gadang. Etape dengan jarak 138.5 km dimulai dari Kota Sawah Lunto, melewati Kota Solok dan berakhir di Kabupaten Solok Selatan. Setelah melewati keindahan Danau Kembar, para pembalap masuk garis finish disambut kemeriahan masyarakat dibawah terik matahari Kota Muara Labuh.
Kota Seribu Rumah Gadang memang pantas diraihnya. Hal ini terlihat dari banyaknya rumah gadang yang berdiri di sudut-sudut kota. Rumah Gadang tersebut masih banyak yang ditempati. Setiap rumah gadang yang berdiri mewakili kaum atau marga. Contohnya Rumah Gadang dari Kaum (marga) Panai. Rumah yang penuh dengan ukiran didindingnya ini berdiri tak jauh dari Pasar Lama Kota Muara labuh.
Rumah ini salah satu dari rumah gadang yang berdiri kokoh dan penuh dengan ukiran khas Minang. Uni Iyeth Panai ( 41 tahun) menjelaskan bahwa rumah ini hasil replika ulang dari rumah sebelumnya yang telah terbakar. Baru pada tahun 1994 diresmikan kembali menjadi rumah untuk Kaum Panai.
Uni Iyeth yang merupakan keturunan ketujuh dari keluarga besar Panai, menjelaskan bahwa rumah gadang yang beraa di halaman rumanya itu adalah khusus dipakai untuk acara-acara keluarga. Mulai dari pernikahan, akikahan, kumpul Lebaran, kematian, pengangkatan ninik mamak, dan sebagainya.
Bangunan yang dibangun dengan biaya 400 Juta Rupiah ini, masih menggunakan bahan kayu, namun tangga dan ruang belakang yang berfungsi sebagai dapur, sudah memakai batu dan semen. Saat masuk ke dalam, didalamnya terhampar ruang yang luas dan memiliki 4 kamar. Didindingnya dihiasi oleh foto-foto keluarga, terutama foto para sesepuh keluarga.
Sebuah bangunan Lumbung padi berdiri di halaman depan rumah gadang ini. Keberadaan Lumbung merupakan penanda status sosial pemilik rumah ini. “Setiap ada acara atau masalah keluarga selalu dibicarakan di dalam rumah gadang ini oleh Ninik Mamak, “ ujar ibu yang merupakan keturunan ketujuh dari keluarga Panai ini. (ferry)